Hatinya tak pernah selesai


Ada seorang tamatan SMA yang menjadi tukang becak namun hatinya tidak pernah ikhlas dengan pekerjaannya, sehingga satu kali kakinya menggenjot pedal becak, satu kalimat gerutuan nongol dari bibirnya. Setiap berpapasan dengan orang lain, ia merasa di ejek. Kalau ada orang tak sengaja menatapnya, ia langsung bereaksi dengan memelototkan matanya. Ia merasa setiap orang yang naik mobil dan motor, atau bahkan setiap penumpangnya, adalah bangsat-bangsat yang memperhinakan hidupnya, yang bisa beli motor dan mobil dan punya ongkos naik becak karena korupsi, mencopet, atau perbuatan tidak bermoral lainnya. Hatinya dirundung penyakit. Hatinya tak pernah selesai.

Ia menyangka bahwa menjadi tukang becak adalah suatu kehinaan hidup. Ia beranggapan bahwa menjadi presiden, menjadi orang kaya, menjadi orang terpandang, menjadi direktur perusahaan, itulah hidup yang mulia. Itulah kamukten/kawibawaan. Adapun kuli, pemulung, satpam, pengasak, tukang becak adalah secelakanya-celakanya orang hidup.

Tentu karena ia adalah produk dari suatu masyarakat feodal yang memelihara kebodohan nilai berabad-abad. Ia adalah anak dari jaman dungu yang tidak pernah menggali akal dan rasionalitas, sehingga tidak pernah mengerti bahwa menjadi hidup yang mulia adalah hidup yang benar dan baik. Bahwa menjadi sales yang profesional dan santun dan jujur lebih mulia dibanding menjadi direktur yang curang dan korup. Bahwa menjadi tukang yang setia, tekun dan amanah, lebih tinggi derajatnya dibanding menjadi presiden yang culas, licik, tak tahu malu dan egois.

Maka hatinya penuh kerewelan yang mubazir. Hatinya tak kunjung selesai. Maka energi pikiran dan hatinya-pun dikuras tidak untuk menapak ke depan: bagaimana mencari kemungkinan pekerjaan lain yang menurutnya lebih bergengsi dan berpendapatan lebih tinggi. Bukan untuk melatih keterampilan baru atau rajin mencari peluang-peluang yang bisa mengembangkan hidupnya. Ia menghabiskan daya hidupnya untuk mengutuk kenyataan hidupnya sendiri, dan ia mandeg dalem kenyataan yang ia kutuk sendiri itu.

Yang paling celaka adalah bahwa dibalik kecamannya atas kemalingan orang lain yang karena itu bisa membeli mobil dan motor, si penarik becak ini diam-diam mencita-citakan suatu peluang untuk juga bisa maling, sehingga juga bisa beli motor. Atau sekurang-kurangnya dia bermimpi kapan ada kesempatan ia bisa menyikat entah motor siapa dan membawanya lari. Kalau setelah sekian tahun ternyata cita-cita rahasia itu tidak tercapai, maka dialektika antara impian dengan gerutuan akan membengkak seperti bola salju. Pelan-pelan ia akan mengalami kekalahan dan keausan. Baik mentalnya maupun mungkin juga fisiknya. Wajahnya tidak bercahaya. Cepat berkerut. Dan satu kali ia menggerutu, maka sehelai rambutnya memutih.

Tukang becak itu bisa juga seorang politisi, seorang pengusaha, seorang pejuang karier pribadi, bisa juga seorang seniman, penyanyi, pemain sinetron, ustadz, ulama, atau kiai, atau siapa saja.

Hidung pesek adalah realitas dan kewajaran hidup mereka masing-masing. Sementara motor dan mobilnya adalah kemenangan politik, kedekatan dengan konglomerat, keunggulan jurus berbuat licik, pemilikan masa atau apa saja. Dan jika kumpulan pemimpin negara dan masyarakat kita adalah orang-orang yang hatinya belum selesai, maka sudah kita alami bersama- bencana demi bencana menimpa, termasuk menimpa para pemilik hidung pesek kepemimpinan nasional kita. Hatinya tak pernah selesai.

Sebagaimana ada juga seorang lain yang hidungnya kalah mancung dibanding orang lain. Sampai tua hatinya tak pernah selesai. Hatinya dipenuhi hidung. Hatinya buram oleh tema hidung dari pagi sampai pagi. Hatinya ruwet oleh ukuran hidung. Banyak urusannya terganggu oleh hidung, bahkan diam-diam banyak rejekinya yang tidak jadi bersentuhan dengannya karena ia sibuk dengan harga diri yang menyangkut hidung.

Demikian juga ketika 'hidung-hidung' itu berupa pemilikan barang, obsesi kedudukan, cita-cita yang tidak rasional, egoisme atas sesuatu hal, baik dalam wilayah pergaulan kecil sehari-hari, maupun perpolitikan besar nasional. Hidung itu bisa bernama konstitusi, demokrasi, pansus, x-gate, saham di perusahaan, akses modal, dan apa saja. Salah satu puncak dari psikologisme itu adalah si pemilik hidung pesek berfatwa bahwa hidung yang indah dan diterima oleh Allah bukanlah hidung mancung melainkan hidung pesek. Dan akhirnya kalau ada pihak yang membantah fatwa, yang sudah dicari-carikan ayatnya itu akan diserbu oleh pasukan hidung pesek.
Negara ini tidak pernah tentram karena hati para pemimpin dan warganya penuh keruwetan dan tak kunjung selesai. Hatinya rakus tuntutan, haus ketidakrelaan. Hatinya shakauw: menagih, menagih, menagih. Kalau yang itu naik ke kursi puncak, yang ini juga harus mendapatkan gilirannya. Nanti kalau yang ini naik ke puncak. Ia juga akan ditimpa ketidakrelaan berikutnya: Yang lain juga harus naik ke puncak.

Kita semua diborgol oleh irama tagihan-tagihan dari kedalaman diri kita sendiri. Kita mengidap narkoba, sabu-sabu, uap lem, marijuana politik dan kekuasaan. (ean)

0 Comments: